Personal Journal #5 : Pregnancy Story

20200115_190406Untuk saya pribadi, tahun 2019 kemarin bisa dibilang menjadi tahun yang sangat spesial, penuh kejutan dan perjuangan. Mungkin bisa dibilang 2019 adalah salah satu titik balik hidup saya. Banyak sekali hal-hal besar terjadi, banyak juga keputusan besar yang telah saya ambil dan banyak juga kasih sayang dan rezeki yang Allah limpahkan untuk saya dan keluarga… Mulai dari keputusan resign yang saya ambil bulan Maret silam, kemudian saya ikut suami bertugas di Dumai sejak April – Oktober, dan surprisingly awal Oktober akhirnya suami saya dapat SK Mutasi ke homebase kami tercinta di Tangerang setelah bertugas di Riau sejak tahun 2014. Daaaan yang paling membahagiakan dari itu semua adalah akhirnya Allah kasih kesempatan saya untuk hamil di waktu terbaik-Nya 😀 Masya Allah Tabarakallah…

Kalau boleh bercerita, saya termasuk tipikal wanita yang menghindari sekali pembahasan tentang kehamilan. Baik ke keluarga mau pun ke kerabat terdekat. Pada intinya saya takut salah bicara dan saya takut mendengarkan kata-kata yang gak ingin saya dengar.

Berbicara tentang memiliki keturunan, buat saya dan suami hal itu adalah tanggung jawab dan amanah yang besar banget. Sebelum kami siap menerima amanah dan mengemban semua tanggung jawab itu kami ingin punya sebaik-baiknya dan sebanyak-banyaknya bekal.

Banyak pendapatan dari kerabat yang bilang “jangan nunda punya anak ya, nanti Allah murka” atau “setelah nikah langsung direncanakan punya anak ya, kalau tidak langsung direncanakan takut dikasih anaknya lama” dll. Allahualam…

Gak sering saya dengar kata-kata tersebut dari kerabat, tapi karena saya mengerti betul kondisi saya dan suami jadi saya berusaha untuk gak terlalu ambil pusing dengan semuanya. Yang saya lakukan hanyalah mencoba lebih memahami diri sendiri, selalu berdoa dan juga berserah kepada Allah sambil juga memohon ampunanNya.

Karena harus menjalani LDM setelah menikah, saya tahu betul kalau saya terkadang masih terlalu kekanak-kanakan. Saya masih sering bersedih dengan kondisi tersebut dan saya masih belum menemukan solusi bagaimana jika saya harus hamil sendirian di pulau seberang jauh dari suami dan keluarga. Intinya pada saat itu saya tidak mau merencanakan sesuatu yang saya sendiri tidak tahu solusinya… Saya merasa mental dan hati saya belum cukup siap…

Sejak menikah di penghujung tahun 2017 sampai akhirnya saya memutuskan untuk resign pada Maret 2019, selama itu juga saya berusaha untuk fokus berdamai dengan diri sendiri dan meluangkan banyak waktu berlibur dengan suami. Rasanya saya betul-betul ingin menikmati waktu saat bersama dengan suami dan selesai dengan diri saya sendiri.

Sampai keputusan resign saya ambil, alasan utama yang mendasari keputusan itu adalah saya merasa sudah waktunya saya fokus untuk keluarga. Saya senang berkarir, saya bersyukur punya pekerjaan dan penghasilan yang baik, tapi mau sampai kapan saya terengah-engah kelelahan jauh dari suami? Akan selalu ada konsekuensi LDM yang harus diterima kalau saya tetap bekerja di instansi yang sama dengan suami. Semakin tinggi jabatan dan tanggung jawab maka semakin besar pula peluang kami ditempatkan di pulau yang berbeda.

Waktu itu rasanya saya sampai dititik tidak mau lagi jauh dari suami, apapun yang terjadi… Banyak hal yang harus saya korbankan memang, tapi saya juga harus percaya kalau banyak kesempatan yang bisa saya raih di masa depan.

Setelah resign dan ikut suami bertugas di Dumai, saya dan suami langsung fokus untuk merencanakan kehamilan. Sebenarnya yang saya lakukan waktu itu adalah hanya memperbaiki kualitas makanan dan memperhatikan periode masa subur. Doa kami berdua waktu itu adalah semoga Allah ridha dengan jalan dan keputusan yang kami ambil. Bagaimana pun nanti hasilnya kami berserah. Kami percaya Allah mengerti betul apa yang ada di hati kami berdua…

Dalam masa-masa berikhtiar, ada cerita yang menyentuh dan mendalam sekali untuk saya pribadi… Waktu itu sebelum tahu bahwa saya hamil, kira-kira akhir bulan Juli saya sedang membaca Al-Quran dan random membaca arti dari ayat yang saya baca (biasanya gak semua ayat saya baca artinya)… Ayat yang saya baca waktu itu adalah Lukman : 14

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun*. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu.”

* Selambat-lambatnya waktu menyapih ialah sampai anak berumur 2 tahun.

Setelah baca arti ayat tersebut saya langsung chat sahabat saya yang sudah memiliki anak. Intinya saya bertanya tentang waktu menyapih anak dan apakah dia pernah mendengarnya dalam konteks ajaran islam. Teman saya menjawab memang ada dalam ajaran islam tapi tidak tahu spesifik diatur dalam ajaran atau ayat apa. Kemudian saya kirim foto dari ayat yang saya baca dan kami berdua langsung amaze bahwa sesungguhnya segala sesuatunya memang telah diatur dalam Al-quran :””)

Saya merasa ayat yang saya temukan gak sengaja itu seperti penanda kalau Allah mau agar saya punya pengetahuan lebih dalam menyambut kehamilan. Dan qadarullah, awal bulan Agustus saya resmi hamil setelah memeriksakan kandungan. Rasanya luar biasa terharu, deg-degan, dan bahagia campur jadi satu… Saya gak menyangka akan diberikan kesempatan secepat itu setelah saya dan suami resmi tinggal bersama. Allah memang selalu tepat waktu dan tahu kapan waktu terbaik untuk hamba-Nya…

Untuk setiap pasangan itu unik dan patut di hargai keputusannya. Apa pun itu. Hampir semua pasangan yang menikah pasti ingin segera atau diwaktu yang tepat kelak dapat diberikan anugerah berupa keturunan. Semoga kita semua bisa siap di waktu yang tepat, bisa bersabar menunggu sampai waktu yang tepat dan selalu percaya bahwa Tuhan selalu memberikan apa yang dikehendakinya, di waktu yang juga tepat.

Sekian ceritanya. Salam sayang ❤